STANDAR NORMATIF PERKAWINAN DALAM BW
Makalah
disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah HUKUM PERDATA yang dibimbing oleh:
Bpk.ERNU
WIDODO,SH.,M.Hum
Disusun oleh:
Kurnia
Oktavianti (10220090)
M.Rizqan
Finan (10220026)
Hendri
Priyono (08220035)
Kelas
: C
Kel:IV
JURUSAN HUKUM BISNIS SYARIAH
FAKULTAS
SYARIAH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Maret,
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas segala limpahan
nikmat dan rahmat yang telah Allah SWT berikan karena dengan limpahan rahmat
yang tiada tara darinya inilah makalah ini yang diselesaikan untuk memenuhi
tugas mata kuliah “HUKUM PERDATA”. Yang dalam hal ini diampu oleh bapak Ernu
Widodo,SH.,M.Hum..dimana nanti kami akan sedikit menjelaskan terkait “Standar
normative perkawinan dalam BW dan lainnya”. Baik dari segi bentuk dan
perkembangannya ataupun dalam sub sub yang dibahas dalam memahami materi yang
berkaitan dengan hal tersebut.
Akhirnya, kami hanya berharap bagi para pembaca
kritikan dan saran atas ketidaksempurnaan makalah yang sangat sederhana yang
kami susun ini. Dan sangat memerlukan banyak perbaikan dalam setiap informasi
yang diajukan. Aris Toteles berkata :
“ilmu
pengetahuan memperbaiki dirinya sendiri”. Dan kami harap akan selalu begitu.
PEMBAHASAN
A. STANDAR NORMATIF PERKAWINAN DALAM BW,
Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang
lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.[1]
Dalam kitab UU perdata (B.W) pasal 26 perkawinan itu dipandang dalam hubungan
keperdataan saja artinya bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang
memenuhi syarat syarat yang ditetapkan dalam kitab UU hukum Perdata (B.W). UU
hanya mengenal “Perkawinan Perdata” yaitu perkawinan yang dilangsungkan
dihadapan seorang pegawai catatan sipil.
Monogamy merupakan asas perkawinan BW yang
ditegaskan bahwa “dalam waktu yang sama seorang laki laki hanya diperbolehkan
mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, seorang perempuan hanya satu
laki laki sebagai suaminya”.[2]
1. Syarat Syarat Perkawinan.
Dalam KUH Perdata Syarat melangsungkan perkawinan
dibagi 2. Yaitu (1) syarat materiil dan (2). syarat formal.
a) Syarat materiil yaitu syarat yang
berkaitan dengan inti atau pokok dalam melangsungkan perkawinan, syarat ini
dibagi jadi dua macam, yaitu:[3]
· Syarat materiil mutlak, merupakan syarat
yang berkaitan dengan pribadi seseorang yang harus diindahkan untuk
melangsungkan perkainan pada umumnya.
· Syarat materiil relative, ketentuan yang
merupakan larangan bagi seseorang untuk kawin dengan orang tertentu.
b) Syarat formal yaitu syarat yang
berkaitan dengan formalitas formalitas dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat ini
dibagi menjadi dua tahapan :
· Pemberitahuan tentang maksud kawin dan
pengumuman maksud kawin.[4]
· Syarat
syarat yang harus dipenuhi bersamaan dengan dilangsungkannya perkawinan.
c) Hak dan Kewajiban Suami Istri.[5]
-
Kekuasaan
marital dari suami (suami sebagai kepala keluarga)
-
Suami
wajib menafkahi istri.
-
Istri
wajib mengikuti kewarga negaraan suami.
-
Istri
mengikuti tempat tinggal (domisili)
suaminya
-
istri
mendapatkan bantuan dari suaminya dalam segala perbuatan hukum.
d) Larangan Perkawinan Dalam KUH Perdata.[6]
-
Larangan
kawin dengan orang yang sangat dekat dalam keluarga (sedarah/sesusu)
-
Larangan
kawin karena zina.
-
Larangan
kawin untuk memperbarui perkawinan setelah adanya perceraian,jika belum lewat
satu tahun.
e) Pencegahan Dan Pembatalan Perkawinan.
Merupakan upaya untuk merintangi atau menghalangi
suatu perkawinan antar calon pasangan suami istri yang tidak memenuhi syarat
untuk melangsungkan perkawinan. Kepada beberapa orang oleh UU diberikan hak
untuk mencegah atau menahan (stulten) dilangsungkannya pernikahan yaitu :
1) Kepada suami atau istri serta anak anak
dari sesuatu pihak yang hendak kawin.
2) Kepada orang tua kedua belah pihak.
3) Kepada jaksa.
Seorang suami dapat menghalang halangi perkawinan
yang kedua dari istrinya dan sebaliknya ,sedangkan anak anakpun dapat mencegah
ayah atau ibunya yang akan menikah lagi .[7]
f) Perjanjian Perkawinan.
Yang dimaksud dengan perjanjian perkawinan ialah
perjanjian yang dibuat oleh calon suami istri sebelum atau pada saat perkawinan
itu untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka. Perjanjian
kawin itu harus dibuatkan dalam bentuk akta notaries.[8]
Pertama ada larangan untuk membuat suatu perjanjian
yang menghapuskan kekuasaan suami sebagai kepala didalam perkawinan, atau
kekuasaannya sebagai ayah , maksud larangan ini agar jangan sampai suami istri
itu menguntungkan diri untuk kerugian pihak pihak ketiga.
Akhirnya ada larangan pula untuk memperjanjikan
bahwa hubungan suami istri akan dikuasai oleh hukum dari suatu negeri asing,
yang dillarang disini bukannya mencantumkan isi hukum asing itu dengan
perincian pasal demi pasal, tetapi menunjuk sevara umum pada hukum asing itu.[9]
g) Putusnya Perkawinan,
Adalah berakhirnya perkawinan yang dibina oleh suami
istri. Dalam KUH Perdata putusnya perkawinan dibedakan menjadi 4 macam yaitu :[10]
·
Kematian
salah satu pihak.
·
Kepergian
suami atau istri selama sepuluh tahun.
·
Akibat
perpisahan meja makan dan tempat tidur.
·
perceraian,(pasal
199 KUH Perdata)
B. PERBANDINGAN KONSEPTUAL PERKAWINAN
MENURUT BW,UU NO 1 TH 1974.
Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting
dalam masyarakat, Eksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum
antara seorang laki laki dengan seorang perempuan. Sedangkan perkawinan menurut
BW (burgerlijke wetboek) ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan
seorang perempuan dalam waktu yang lama.
Dalam UU Hukum Perdata (BW)pasal 26 memandang
perkawinan hanya dari hubungan keperdataan, artinya bahwa suatu perkawinan yang
sah hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat syarat yang telah ditetapkan dalam
kitab UU Hukum Perdata.
Konsepsi umum perkawinan menurut (BW)telah diatur
semua dalam kitab UU Hukum Perdata dalam buku 1 tentang orang tetapi UU ini
telah dicabut dengan UU nomer 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan berbagai
peraturan pelaksanaanya.
C. PERKAWINAN BAGI PNS DAN PERKAWINAN
MENURUT KHI.
Untuk
kepentingan penyelenggaraan sistem informasi kepegawaian, setiap perkawinan,
perceraian, dan perubahan dalam susunan keluarga Pegawai Negeri Sipil harus
segera dilaporkan kepada Kepala Badan Kepegawaian Negara menurut tata cara yang
ditentukan. Perkawinan Pegawai Negeri Sipil yang melangsungkan perkawinan wajib
segera melaporkan perkawainannya kepada pejabat. Laporan perkawinan disampaikan
secara tertulis selambat-lambatnya l (satu) tahun terhitung mulai tanggal
pernikahan. Ketentuan tersebut di atas juga berlaku untuk janda/duda Pegawai
Negeri Sipil yang melakukan pernikahan kembali atau Pegawai Negeri Sipil yang
melakukan pernikahan dengan isteri kedua, ketiga, atau keempat.
Perceraian
hanya dapat dilakukan apabila ada alasan-alasan tertentu sebagaimana dinyatakan
dalam peraturan perundang-undangan. Pegawai Negeri Sipil sebagai unsur aparatur
Negara dan abdi masyarakat harus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat
dalam tingkah laku, tindakan, dan ketaatan kepada peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Pegawai Negeri Sipil dan pejabat yang tidak menaati atau
melanggar ketentuan mengenai izin perkawinan dan perceraian Pegawai Negeri
Sipil dijatuhi hukuman disiplin.
Catatan: Yang dimaksud dengan pejabat ialah
pejabat yang berwenang mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan Pegawai
Negeri Sipil, atau pejabat lain yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku memiliki wewenang memberikan atau menolak
permintaan izin perkawinan atau perceraian Pegawai Negeri Sipil.
Perceraian :
Untuk
dapat melakukan perceraian, Pegawai Negeri Sipil yang hendak bercerai harus
memperoleh izin tertulis lebih dahulu dari pejabat. Pegawai Negeri Sipil hanya
dapat melakukan perceraian apabila terdapat alasan-alasan sebagai berikut.
a. Salah
satu pihak berbuat zina,
b. Salah
satu pihak menjadi pemabok, pemadat, atau penjudi yang sukar disembuhkan,
c. Salah
satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa
izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuan/kemauannya,
d. Salah
satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih
berat secara terus menerus setelah perkawinan berlangsung,
e. Salah
satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak
lain,
f. Antara
suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Surat
permintaan izin perceraian diajukan kepada pejabat melalui saluran hirarki.
Permintaan izin perceraian harus dilengkapi dengan salah satu atau lebih bahan
pembuktian mengenai alasan-alasan untuk melakukan perceraian seperti tersebut
di atas.
Setiap atasan
yang menerima surat permintaan izin perceraian harus berusaha lebih dahulu
merukunkan kembali suami isteri yang hendak bercerai tersebut. Apabila usahanya
tidak berhasil, maka ia meneruskan permintaan izin perceraian tersebut kepada
pejabat melalui saluran hirarki dengan disertai pertimbangan tertulis. Dalam
surat pertimbangan tersebut antara lain dikemukakan keadaan obyektif suami
isteri tersebut dan memuat saran-saran sebagai bahan pertimbangan bagi pejabat
untuk mengambil keputusan.
Setiap
atasan yang menerima surat permintaan izin perceraian, wajib menyampaikannya
kepada pejabat selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung mulai tanggal ia
menerima surat permintaan izin perceraian. Setiap pejabat harus mengambil
keputusan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung mulai tanggal ia menerima
surat permintaan izin perceraian tersebut. Kewajiban Pejabat Sebelum mengambil
keputusan, pejabat berusaha lebih dahulu merukunkan kembali suami isteri yang
akan bercerai dengan cara memanggil mereka, baik bersama-sama maupun
sendiri-sendiri. Apabila tempat suami isteri yang bersangkutan jauh dari
kedudukan pejabat, maka pejabat dapat menginstruksikan kepada pejabat lain
dalam lingkungannya untuk melakukan usaha merukunkan suami isteri itu.
Apabila
perceraian terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil pria, maka ia wajib
menyerahkan sepertiga gajinya untuk penghidupan bekas isteri dan sepertiga
gajinya untuk anak-anaknya. Apabila pernikahan mereka tidak dikaruniai anak,
maka setengah dari gajinya diserahkan kepada isterinya. Apabila perceraian
terjadi atas kehendak suami isteri, maka pembagian gaji dilaksanakan
berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak yang bercerai. Bekas isteri berhak
atas bagian gaji walaupun perceraian terjadi atas kehendak isteri (Pegawai
Negeri Sipil pria menjadi pihak tergugat) apabila alasan perceraian tersebut
adalah karena dimadu, atau karena Pegawai Negeri Sipil pria melakukan zina,
melakukan kekejaman atau penganiayaan, menjadi pemabok/ pemadat/penjudi, atau
meninggalkan isteri selama 2 (dua) tahun atau lebih tanpa alasan yang sah.
Pembagian gaji seperti tersebut diatas tidak harus dilaksanakan apabila alasan
perceraian karena pihak isteri melakukan zina, melakukan kekejaman atau
penganiayaan, menjadi pemabok/pemadat/ penjudi, dan atau meninggalkan suami
selama 2 (dua) tahun atau lebih tanpa alasan yang sah.
Pegawai Negeri Sipil Pria Yang Akan
Beristeri Lebih Dari Seorang :
Undang-undang
Nomor l Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut azas monogami, yaitu seorang
pria hanya mempunyai seorang isteri dan seorang wanita hanya mempunyai seorang
suami. Namun hanya apabila dipenuhi persyaratan tertentu dan diputuskan oleh
Pengadilan seorang pria dimungkin-kan beristeri lebih dari seorang, apabila
ajaran agama yang dianutnya mengizinkan dan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku serta dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan. Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristeri lebih dari seorang
wajib memperoleh izin tertulis lebih dahulu dari pejabat. Izin untuk beristeri lebih
dari seorang hanya dapat diberikan apabila memenuhi syarat-syarat alternatif
dan syarat-syarat kumulatif sebagai berikut. Syarat alternatif, yaitu :
·
isteri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai isteri,
·
isteri mendapat cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau
·
isteri tidak dapat melahirkan
keturunan
Syarat kumulatif, yaitu :
·
ada persetujuan tertulis dari isteri
·
Pegawai Negeri Sipil yang
bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari
seorang isteri dan anak-anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak
penghasilan, dan
·
ada jaminan tertulis dari Pegawai
Negeri Sipil yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil terhadap
isteri-isteri dan anak-anaknya.
Izin untuk beristeri lebih dari seorang hanya dapat
diberikan oleh pejabat apabila dipenuhi sekurang-kurangnya satu dari semua
syarat alternanif, dan semua syarat kumulatif yang ada. Pejabat yang menerima
permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang wajib memperhatikan dengan
saksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam surat permintaan izin dan atasan
Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan. Apabila alasan-alasan dan syarat-syarat
yang dikemukakan tersebut kurang meyakinkan, maka pejabat harus meminta
keterangan tambahan dari isteri Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan permintaan
izin atau dari pihak lain yang dipandang dapat memberikan keterangan yang
meyakinkan. Sebelum mengambil keputusan, pejabat memanggil Pegawai Negeri Sipil
yang bersangkutan sendiri atau bersama-sama dengan isterinya untuk diberi
nasehat Permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang ditolak apabila:
a. Bertentangan
dengan ajaran/peraturan agama yang dianutnya/kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa yang di hayatinya,
b. Tidak
memenuhi salah satu syarat alternatif dan semua syarat alternatif,
c. Bertentangan
peraturan perundang-undangan yang berlaku,
d. Alasan
yang dikemukakan untuk beristeri lebih dari seorang bertentangan dengan akal
sehat, dan atau
e. Ada
kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan, yang dinyatakan dalam surat
keterangan atasan langsung Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.
Penolakan atau pemberian izin untuk beristeri lebih dari
seorang dinyatakan dengan surat keputusan pejabat.
Pegawai Negeri Sipil Wanita
Tidak Diizinkan Menjadi Isteri Kedua/Ketiga/Keempat. :
Pegawai
Negeri Sipil wanita tidak diizinkan menjadi isteri kedua, ketiga, atau keempat
dari seorang pria yang berkedudukan sebagai Pegawai Negeri Sipil, maupun
seorang pria yang bukan Pegawai Negeri Sipil. Seorang wanita yang berkedudukan
sebagai isteri kedua/ketiga/keempat tidak dapat melamar menjadi calon Pegawai
Negeri Sipil. Pegawai Negeri Sipil wanita yang setelah berlakunya Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 ternyata berkedudukan sebagai isteri
kedua/ketiga/keempat dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian tidak
dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil. Pegawai Negeri Sipil Yang Menduduki
Jabatan Tertentu Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian dan
Pegawai Negeri Sipil Pria yang akan menikah lebih dari seorang yang berkedudukan
sebagai:
a. Menteri,
Jaksa Agung, Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pimpinan Kesekretariatan
Lembaga Keperesidenan, Pimpinan Kesekretariat-an Lembaga Tertinggi/Tinggi
Negara,Pimpinan Kesekretariatan Lembaga lain yang bukan merupakan bagian dari
Departemen/ Lembaga Pemerintah Non Departemen, Gubernur Bank Indonesia, Kepala
Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, Gubernur, dan Wakil Gubernur,
wajib memperoleh izin terlebih dahulu dari Presiden,
b. Bupati,
Walikota, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota harus memperoleh izin terlebih
dahulu dari Menteri Dalam Negeri,
c. Pimpinan/Direksi
Bank Milik Negara dan Pimpinan/Direksi Badan Usaha Milik Negara, wajib
memperoleh izin terlebih dahulu dari Presiden,
d. Pimpinan/Direksi
Bank Milik Daerah dan Pimpinan/Direksi Badan Usaha Milik Daerah, wajib
mempereloh izin terlebih dahulu dari Gubernur/Bupati/ Walikota yang
bersangkutan,
e. Anggota
Lembaga Negara/Komisi wajib memper-oleh izin terlebih dahulu dari Presiden,
f. Kepala
Desa, Perangkat Desa, dan Petugas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
desa, wajib memperoleh izin terlebih dahulu dari Bupati yang bersangkutan.
PERKAWINAN
MENURUT KHI
Pasal 1
Yang dimaksud dengan :
a. Peminangan ialah kegiatan
kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria
dengan seorang wanita,
b. Wali hakim ialah wali nikah yang
ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak
dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah;
c. Akad nikah ialah rangkaian ijab
yang diucapkan oleh wali dan kabul yang diucapkan oleh
mempelai pria atau wakilnya
disaksikan oleh dua orang saksi;
d. Mahar adalah pemberiandari calon
mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau
jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam;
e. Taklil-talak ialah perjanjian
yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang
dicantumkan dalam Akta Nikah berupa
Janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan
tertentu yang mungkin terjadi
dimasa yang akan datang;
f. Harta kekayaan dalam perkawinan
atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama
suami-isteri selam dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya sisebut
harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun;
g. Pemeliharaan anak atau hadhonah
adalah kegiatan mengasuh, memeliharadan mendidik anak
hingga dewasa atau mampu berdiri
sendiri;
h. Perwalian adalah kewenangan yang
diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu
perbuatan hukum sebagai wakil untuk
kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai
kedua orang tua, orang tua yang
masih hidup, tidak cakap melakukan perbuatan hukum;
i. Khuluk adalah perceraian yang
terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau
iwadl kepada dan atas persetujuan
suaminya;
j. Mutah adalah pemberian bekas
suami kepada isteri, yang dijatuhi talak berupa benda atau uang
dan lainnya.
Tata Cara Perceraian
Pasal 129
Seorang suami yang akan menjatuhkan
talak kepada isterinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri disertai dengan alasan
serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
Pasal 130
Pengadilan Agama dapat mengabulkan
atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta
upaya hukum banding dan kasasi
Pasal 131
1. Pengadilan agama yang
bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam waktu
selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan isterinya untuk
meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud
menjatuhkan talak.
2. Setelah Pengadilan Agama tidak
berhasil menashati kedua belah pihak danternyata cukup alas an untuk
menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagihidup rukun
dalamrumah
tangga, pengadilan Agama menjatuhkan
keputusannya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak.
3. Setelah keputusannya mempunyai
kekuatan hukum tetap suami mengikrarkan talaknya didepan sidang Pengadilan
Agama, dihadiri oleh isteri atau kuasanya.
4. Bila suami tidak mengucapkan
ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulah terhitung sejak putusan
Pengadilan Agama tentang izin ikrar
talak baginya mempunyai kekuatanhukum yang tetap maka
hak suami untuk mengikrarkan talak
gugur dan ikatan perkawinan yant tetap utuh.
5. Setelah sidang penyaksian ikrar
talak Pengadilan Agama membuat penetapan tentang terjadinya Talak rangkap empat
yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan isteri.
Pasal 132
1. Gugatan perceraian diajukan oleh
isteri atau kuasanya pada Pengadilan Agama,. Yang daerah
hukumnya mewilayahi tempat tinggal
penggugat kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman
bersama tanpa izin suami.
2. Dalam hal tergugat bertempat
kediaman diluar negeri, Ketua Pengadilan Agama memberitahukan gugatan tersebut
kepada tergugat melalui perwakilan Republik Indonesia setempat.
Pasal 133
1. Gugatan perceraian karena alasan
tersebut dalam pasal 116 huruf b, dapat diajukan setelah
lampau 2 (dua) tahun terhitung
sejak tergugat meninggalkan gugatan meninggalkan rumah.
2. Gugatan dapat diterima apabila
tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi
kembali ke rumah kediaman besama.
Pasal 134
Gugatan perceraian karena alasan
tersebut dalam pasal 116 huruf f, dapat diterima apabila telah
cukup jelas bagi Pengadilan Agama
mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan
setelah mendengar pihak keluarga
serta orang-orang yang dekat dengan suami isteri tersebut.
Pasal 135
Gugatan perceraraian karena alsan
suami mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat sebagai
dimaksud dalam pasal 116 huruf c, maka untuk mendapatkan
putusan perceraian sebagai bukti
penggugat cukup menyapaikan salinan putusan Pengadilan yang memutuskan perkara
disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap.
Pasal 136
1. Selama berlangsungya gugatan
perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat
berdasarkan pertimbangan bahaya
yang mingkin ditimbulkan, Penghadilan Agama dapat
mengizinkan suami isteri tersebut
untuk tidak tinggal dalam satu rumah.
2. Selama berlangsungnya gugatan
perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat,
Pengadilan Agama dapat :
a. menentukan nafkah yang harus
ditanggung oleh suami;
b. menentukan hal-hal yang perlu
untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi
hak bersama suami isteri atau
barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang
yang menjadi hak isteri
Pasal 137
Gugatan perceraian gugur apabila
suami atau isteri meninggal sebelum adanya putusan pengadilan Agama mengenai
gugatan perceraian itu.
Pasal 138
1. Apabila tempat kediaman tergugat
tidak jelas atau tergugat tidak mempunyai tempat kediaman
yang tetap, panggilan dilakukan
dengan cara menempelkan gugatanpada papan pengumuman di
Pengadilan Agama dan mengumumkannya
melalui satu atau bebrapa surat kabar atau mass
media lain yang ditetapkan oleh
Pengadilan Agama.
2. Pengumuman melalui surat kabar
atau surat-siurat kabar atau mass media tersebut ayat (1)
dilakukan sebanyak 2 (dua) kali
dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama
dan kedua
3. Tenggang dwaktu antara penggilan
terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan
persidangan ditetapkan
sejurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
4. Dalam hal sudah dilakukan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan tergugat atau kuasanya
tetap tidak hadir, gugatan diterima
tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak
atau tidak beralasan.
Pasal 140
Apabila tergugat berada dalam
keadaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 132 ayat (2),
Panggilan disampaikan melalui
perwakilan Republik Indonesia setempat
Pasal 141
1. Pemeriksaan gugatan perceraian
dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
diterimanya berkas atau surat gugatan perceraian
2. Dalam menetapkan waktu sidang
gugatan perceraian perlu diperhatian tenyang waktu
pemanggilan dan diterimanya
panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa
meeka.
3. Apabila tergughat berada dalam
keadaan seperti tersebut dalam pasal 116 huruf b, sidang
pemeriksaan gugatan perceraian
ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak
dimasukkanya gugatan perceraian
pada Kepaniteraan Pengadilan Agama.
Pasal 142
1. Pada sidang pemeriksaan gugatan
perceraian, suami isteri datang sendiri atau mewakilkan
kepada kuasanya.
2. Dalam hal suami atau isteri
mewakilkan, untuk kepentingan pemeriksaan Hakim dapat
memerintahkan yang bersangkutan
untuk hadir sendiri.
Pasal 143
1. Dalam pemeriksaan gugatan
perceraian Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak.
2. Selama perkara belum diputuskan
usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang
pemeriksaan.
Pasal 144
Apabila terjadi pedamaian, maka
tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan
alasan atau alasan-alasan yang ada
sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada
waktu dicapainya perdamaian.
Pasal 145
Apabila tidak dicapai perdamaian,
pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang
tertutup.
Pasal 146
(1) Putusan mengenai gugatan
perceraian dilakukan dalam sidang terbuka.
(2) Suatu perceraian dianggap
terjadi beserta akibat-akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan
Pengadilan Agama yang telah
mempuntai kekuatan hukum yang tetap
Pasal 147
(1) Setelah perkara perceraian itu
diputuskan, aka panitera Pengadilan Agama menyampaikan
salinan surat putusan tersebut
kepada suami isteri atau kuasanya dengan menarik Kutipan Akta
Nikah dari masing-masing yang
bersangkutan.
(2) Panitera Pengadilan Agama
berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan Pengadilan
Agama yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap tanpa bermaterai kepadaPegawai
Pencatat Nikah yang mewilayahi
tempat tinggal isteri untuk diadakan pencatatan.
(3) Panitera Pengadilan Agama
mengirimkan surat Keterngan kepada masing-masing suami isteri atau kuasanya
bahwa putusan tersebut ayat (1) telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan merupakan
bukti perceraian bagi suami dan bekas istri.
(4) Panitera Pengadilan Agama
membuat catatan dalam ruang yang tesedia pada Kutipan Akta Nikah yang
bersangkutan bahwa mereka telah bercerai.Catatan tersebut berisi tempat
terjadinya perceraian, tanggal perceraian, nomor dan tanggal surat putusan
serta tanda tangan panitera.
(5) Apabila Pegawai Pencatat Nikah
dengan Pegawai Pencatat Nikah tempat pernikahan mereka
dilangsungkan, maka satu helai
salinan putusan Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud
dalam ayat(2) dikirimkan pula
kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat
perkawinan dilangsungka dan bagi
perkawinan yang dilangsungkan di luar Negeri Salinan itu
disampaikan kepada Pegawai Pencatat
Nikah Jakarta.
(6) Kelalaian mengirimkan salinan
putusan tersebut dalam ayat (1) menjadi tanggungjawab Paniterayang
bersangkutan, apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami
atauisteri atau keduanya.
Pasal 148
1. Seorang isteri yang mengajukan
gugatan perceraian dengan jalan khuluk, menyanpaikan
permohonannya kepada Pengadilan
Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan
atau lasan-alasannya.
2.
Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil isteri dan suaminya
untuk disengar keterangannya masing-masing.
3.
Dalam persidangan tersebut Pengadilan Agama memberikan penjelasan tentang
akibat khuluk,
dan
memberikan nasehat-nasehatnya.
4.
Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadl atau tebusan, maka
Pengadilan
Agama
memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya
disepan
sidang
Pengadilan Agama. Terhadap penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding
dan
kasasi.
5.
Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam pasal 131 ayat
(5)
6.
Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusanatau iwadl
Pengadilan Agama
memeriksa
dan memutuskan sebagai perkara biasa.
D. PERKAWINAN HUKUM ADAT.
Hukum perkawinan adat adalah bagian dari hukum tidak
tertulis yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang mengatur tentang
perkawinan. Dalam
realitas sosial, Hukum perkawinan adat masih berlaku meskipun intensitasnya
berbeda-beda.
Unifikasi
hukum di bid perkawinan
·
Lahir UU No 1/1974 ttg Perkawinan (2 Jan 1974)
·
PP
No 9/1975 tentang Pelaksanaan UU No 1/1974Berdasar Pasal 49 ayat (1) maka UU
Perkawinan berlaku efektif sejak 1 Oktober 1975.
Pluralisme
Hukum Perkawinan pra UU Perkawinan
1. Bagi org2 Indoensia asli yg beragama
islam, berlaku hukum agamanya (hukum perkawinan islam) yg telah diterima dlm
hukum adat;
2. Bagi org2 Indoensia asli lainnya,
berlaku hukum perkawinan adat masing2;
3. Bagi org2 Indoensia asli yg beragama
kristen, berlaku hukum (ordonansi) perkawinan kristen Indonesia atau HOCI
(Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers) Stb. 1933 No. 74;
4. Bagi org2 Timur Asing Cina & WNI
Keturunan Cina, berlaku ketentuan2 KUH Perdata dg sedikit perubahn
5. Bagi org2 Timur Asing lainnya
& WNI keturunan Timur Asing lainya berlaku hukum adat mereka
6. Bagi org2 Eropa & WNI
keturunan Eropa atau yg disamakan dg mereka berlaku Kitab Undang2 Hukum Perdata
(KUH Perdata)
Pasal
66 UU Perkawinan berbunyi, (CERMATI)
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya
Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (burgelijk Wetboek), Ordinansi Perkawinan Indonesia Kristen
(Huwelijk Ordanantie Christen Indonesia 1933 No.74, Peraturan Perkawinan
Campuran (Regeling op gemeng de Huwelijken S.1898 No. 158), dan Peraturan-peraturan
lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang
ini, dinyatakan tidak berlaku. Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang
perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak
berlaku.” Melalui penafsiran a contrario, berarti sejauh thp hal2 yg
tidak telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tetap berlaku.
UU Perkawinan berpedoman pada Falsafah Pancasila
& UUD 1945 dan harus dapat menampung segala realitas kehidupan masyarakat
Jika ditelaah lebih mendalam, ada hubungan antara
hukum perkawinan adat dan UU Perkawinan sbb:
1. Asas2 dan/atau ketentuan2 dlm hukum adat
yg sesuai, dimasukkan dlm UU Perkawinan
- Larangan
perkawinan antara org yg mempunyai hub darah sangat dekat (Pasal 8)
- Ketantuan
seorang wanita yg putus perkawinannya harus berlaku waktu tunggu (Pasal 11)
-Kedudukan harta benda dlm perkawinan (Pasal
35) Ketentuan hak&kewajiban org tua&anak (Pasal 45)
2.
Asas2 dan/atau ketentuan2 dlm hukum adat yg tdk diatur tetapi tdk bertentangn&masih
brlaku
-Dalam hal
pertunangan, pemberian hadiah perkawinan, bentuk2 dan upacara perkawinan, sebaliknya,
tdk diatur tapi bertentangan UU Perkawinan yakni perkawinan bawa lari
3.
Asas2 dan/atau ketentuan2 dlm hukum adat yg tidak sesuai & tidak berlaku
- Pasal 7 ayat (1) yg menentukan usia kawin shg otomatis melarang
perkawinan anak2 (perkwinan gadis muda belia)
- Pasal 19 PP No.9/1975 yg menybutkan alasan2 cerai yg scr otomatis
melarang perceraian diluar alasan
tsb, misalnya krn faktor magis (hukum perkawinan adat)
PENUTUP
KESIMPULAN
Agama islam menetapkan bahwa untuk membangunkan
rumah tangga yang damai dan teratur itu, haruslah dengan perkawinan dan akad
nikah yang sah, serta diketahui oleh sekurang kurangnya dua orang saksi, bahkan
dianjurkan supaya diumumkan kepada tetangga dan karib kerabat dengan mengadakan
pesta perkawinan (walimah).
Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang
lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.[11]
Dalam kitab UU perdata (B.W) pasal 26 perkawinan itu dipandang dalam hubungan
keperdataan saja artinya bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang
memenuhi syarat syarat yang ditetapkan dalam kitab UU hukum Perdata (B.W). UU
hanya mengenal “Perkawinan Perdata” yaitu perkawinan yang dilangsungkan
dihadapan seorang pegawai catatan sipil.
Allah menjadikan makhlukNya berpasang pasangan,
menjadikan manusia laki laki dan perempuan , menjadikan hewan jantan betina,
begitu pula tumbuh tumbuhan dan lain sebagainya.
Hikmahnya adalah supaya manusia itu hidup berpasang
pasangan, membangun rumah tangga yang damai dan teratur. Untuk itu haruslah
diadakan ikatan dan pertalian yang kokoh yang tak mudah putus dan
diputuskan,ialah ikatan nikah atau ijab kabul perkawinan, dalam pada itu mereka
akan melahirkan keturunan yang sah dalam masyarakat. Kemudian keturunan mereka
itu akan membangunkan pula rumah tangga yang baru dan keluarga yang baru dan
begitulah seterusnya.
DAFTAR
PUSTAKA
HS,Salim.2003. “Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW)”Jakarta
: Sinar Grafika.
Kansil, Kansil Cristine,2000. Modul Hukum Perdata,
Jakarta. PT. Pradnya Paramita.
Salim Hs 2002. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW),Jakarta
Sinar Grafika.
Sudarsono, 1994, “Hukum Waris dan Sistem Bilateral”,
Rineka cipta, Jakarta.
Subekti.1979 “Pokok Pokok Hukum Perdata”. Jakarta PT
Intermasa.
Subekti dan Tjirtrosudibio. 2001. Kitab Undang Undang
Hukum Perdata, Jakarta Pradnya Paramita.
[1] Subekti, Pokok Pokok Hukum Perdata,( Jakarta. PT. Intermasa ,2003),
hal 23.
[2] Pasal 27 KUH Perdata. Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, (Jakarta Rineka Cipta,1991) hal 6.
[3] Salim, Pengantar Hukum Perdata Tertulis(BW), (Jakarta.Sinar
Grafika, 2003) hal 63-64.
[4] Pasal 50 sampai pasal 51.
[5] Sudarsono, OP.CIT hal 13-14.
[6] Salim.OP.CIT hal 65-66
[7] Subekti OP.CIT hal 25.
[8] Salim OP.CIT hal 72.
[9] Subekti OP.CIT hal 38 – 39.
[10] C.S.T. Kansil OP.CIT hal 106.
[11] Subekti, Pokok Pokok Hukum Perdata,( Jakarta. PT. Intermasa ,2003),
hal 23.