Translate

Minggu, 27 Mei 2012


        
 STANDAR NORMATIF PERKAWINAN DALAM BW
Makalah disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah HUKUM PERDATA yang dibimbing oleh:

Bpk.ERNU WIDODO,SH.,M.Hum









     Disusun oleh:
Kurnia Oktavianti (10220090)
M.Rizqan Finan (10220026)
Hendri Priyono (08220035)
Kelas : C
Kel:IV

    JURUSAN HUKUM BISNIS SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Maret, 2012

KATA PENGANTAR
 
Puji syukur kami panjatkan atas segala limpahan nikmat dan rahmat yang telah Allah SWT berikan karena dengan limpahan rahmat yang tiada tara darinya inilah makalah ini yang diselesaikan untuk memenuhi tugas mata kuliah “HUKUM PERDATA”. Yang dalam hal ini diampu oleh bapak Ernu Widodo,SH.,M.Hum..dimana nanti kami akan sedikit menjelaskan terkait “Standar normative perkawinan dalam BW dan lainnya”. Baik dari segi bentuk dan perkembangannya ataupun dalam sub sub yang dibahas dalam memahami materi yang berkaitan dengan hal tersebut.
Akhirnya, kami hanya berharap bagi para pembaca kritikan dan saran atas ketidaksempurnaan makalah yang sangat sederhana yang kami susun ini. Dan sangat memerlukan banyak perbaikan dalam setiap informasi yang diajukan. Aris Toteles berkata :
“ilmu pengetahuan memperbaiki dirinya sendiri”. Dan kami harap akan selalu begitu.



PEMBAHASAN
A.  STANDAR NORMATIF PERKAWINAN DALAM BW,
Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.[1] Dalam kitab UU perdata (B.W) pasal 26 perkawinan itu dipandang dalam hubungan keperdataan saja artinya bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang memenuhi syarat syarat yang ditetapkan dalam kitab UU hukum Perdata (B.W). UU hanya mengenal “Perkawinan Perdata” yaitu perkawinan yang dilangsungkan dihadapan seorang pegawai catatan sipil.
Monogamy merupakan asas perkawinan BW yang ditegaskan bahwa “dalam waktu yang sama seorang laki laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, seorang perempuan hanya satu laki laki sebagai suaminya”.[2]
1.    Syarat Syarat Perkawinan.
Dalam KUH Perdata Syarat melangsungkan perkawinan dibagi 2. Yaitu (1) syarat materiil dan (2). syarat formal.
a)    Syarat materiil yaitu syarat yang berkaitan dengan inti atau pokok dalam melangsungkan perkawinan, syarat ini dibagi jadi dua macam, yaitu:[3]
·  Syarat materiil mutlak, merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi seseorang yang harus diindahkan untuk melangsungkan perkainan pada umumnya.
·  Syarat materiil relative, ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang untuk kawin dengan orang tertentu.
b)   Syarat formal yaitu syarat yang berkaitan dengan formalitas formalitas dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat ini dibagi menjadi dua tahapan :
·  Pemberitahuan tentang maksud kawin dan pengumuman maksud kawin.[4]
·   Syarat syarat yang harus dipenuhi bersamaan dengan dilangsungkannya perkawinan.
c)    Hak dan Kewajiban Suami Istri.[5]
-          Kekuasaan marital dari suami (suami sebagai kepala keluarga)
-          Suami wajib menafkahi istri.
-          Istri wajib mengikuti kewarga negaraan suami.
-          Istri mengikuti tempat tinggal  (domisili) suaminya
-          istri mendapatkan bantuan dari suaminya dalam segala perbuatan hukum.
d)   Larangan Perkawinan Dalam KUH Perdata.[6]
-          Larangan kawin dengan orang yang sangat dekat dalam keluarga (sedarah/sesusu)
-          Larangan kawin karena zina.
-          Larangan kawin untuk memperbarui perkawinan setelah adanya perceraian,jika belum lewat satu tahun.
e)    Pencegahan Dan Pembatalan Perkawinan.
Merupakan upaya untuk merintangi atau menghalangi suatu perkawinan antar calon pasangan suami istri yang tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan. Kepada beberapa orang oleh UU diberikan hak untuk mencegah atau menahan (stulten) dilangsungkannya pernikahan yaitu :
1)      Kepada suami atau istri serta anak anak dari sesuatu pihak yang hendak kawin.
2)      Kepada orang tua kedua belah pihak.
3)      Kepada jaksa.
Seorang suami dapat menghalang halangi perkawinan yang kedua dari istrinya dan sebaliknya ,sedangkan anak anakpun dapat mencegah ayah atau ibunya yang akan menikah lagi .[7]
f)    Perjanjian Perkawinan.
Yang dimaksud dengan perjanjian perkawinan ialah perjanjian yang dibuat oleh calon suami istri sebelum atau pada saat perkawinan itu untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka. Perjanjian kawin itu harus dibuatkan dalam bentuk akta notaries.[8]
Pertama ada larangan untuk membuat suatu perjanjian yang menghapuskan kekuasaan suami sebagai kepala didalam perkawinan, atau kekuasaannya sebagai ayah , maksud larangan ini agar jangan sampai suami istri itu menguntungkan diri untuk kerugian pihak pihak ketiga.
Akhirnya ada larangan pula untuk memperjanjikan bahwa hubungan suami istri akan dikuasai oleh hukum dari suatu negeri asing, yang dillarang disini bukannya mencantumkan isi hukum asing itu dengan perincian pasal demi pasal, tetapi menunjuk sevara umum pada hukum asing itu.[9]
g)   Putusnya Perkawinan,
Adalah berakhirnya perkawinan yang dibina oleh suami istri. Dalam KUH Perdata putusnya perkawinan dibedakan menjadi 4 macam yaitu :[10]
·      Kematian salah satu pihak.
·      Kepergian suami atau istri selama sepuluh tahun.
·      Akibat perpisahan meja makan dan tempat tidur.
·      perceraian,(pasal 199 KUH Perdata)

B.     PERBANDINGAN KONSEPTUAL PERKAWINAN MENURUT BW,UU NO 1 TH 1974.
Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat, Eksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum antara seorang laki laki dengan seorang perempuan. Sedangkan perkawinan menurut BW (burgerlijke wetboek) ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan dalam waktu yang lama.
Dalam UU Hukum Perdata (BW)pasal 26 memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan, artinya bahwa suatu perkawinan yang sah hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat syarat yang telah ditetapkan dalam kitab UU Hukum Perdata.
Konsepsi umum perkawinan menurut (BW)telah diatur semua dalam kitab UU Hukum Perdata dalam buku 1 tentang orang tetapi UU ini telah dicabut dengan UU nomer 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan berbagai peraturan pelaksanaanya.

C.  PERKAWINAN BAGI PNS DAN PERKAWINAN MENURUT KHI.
Untuk kepentingan penyelenggaraan sistem informasi kepegawaian, setiap perkawinan, perceraian, dan perubahan dalam susunan keluarga Pegawai Negeri Sipil harus segera dilaporkan kepada Kepala Badan Kepegawaian Negara menurut tata cara yang ditentukan. Perkawinan Pegawai Negeri Sipil yang melangsungkan perkawinan wajib segera melaporkan perkawainannya kepada pejabat. Laporan perkawinan disampaikan secara tertulis selambat-lambatnya l (satu) tahun terhitung mulai tanggal pernikahan. Ketentuan tersebut di atas juga berlaku untuk janda/duda Pegawai Negeri Sipil yang melakukan pernikahan kembali atau Pegawai Negeri Sipil yang melakukan pernikahan dengan isteri kedua, ketiga, atau keempat.
Perceraian hanya dapat dilakukan apabila ada alasan-alasan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan. Pegawai Negeri Sipil sebagai unsur aparatur Negara dan abdi masyarakat harus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku, tindakan, dan ketaatan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pegawai Negeri Sipil dan pejabat yang tidak menaati atau melanggar ketentuan mengenai izin perkawinan dan perceraian Pegawai Negeri Sipil dijatuhi hukuman disiplin.
Catatan: Yang dimaksud dengan pejabat ialah pejabat yang berwenang mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan Pegawai Negeri Sipil, atau pejabat lain yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku memiliki wewenang memberikan atau menolak permintaan izin perkawinan atau perceraian Pegawai Negeri Sipil.
Perceraian :
Untuk dapat melakukan perceraian, Pegawai Negeri Sipil yang hendak bercerai harus memperoleh izin tertulis lebih dahulu dari pejabat. Pegawai Negeri Sipil hanya dapat melakukan perceraian apabila terdapat alasan-alasan sebagai berikut.
a.    Salah satu pihak berbuat zina,
b.    Salah satu pihak menjadi pemabok, pemadat, atau penjudi yang sukar disembuhkan,
c.    Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuan/kemauannya,
d.   Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat secara terus menerus setelah perkawinan berlangsung,
e.    Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain,
f.     Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Surat permintaan izin perceraian diajukan kepada pejabat melalui saluran hirarki. Permintaan izin perceraian harus dilengkapi dengan salah satu atau lebih bahan pembuktian mengenai alasan-alasan untuk melakukan perceraian seperti tersebut di atas.
Setiap atasan yang menerima surat permintaan izin perceraian harus berusaha lebih dahulu merukunkan kembali suami isteri yang hendak bercerai tersebut. Apabila usahanya tidak berhasil, maka ia meneruskan permintaan izin perceraian tersebut kepada pejabat melalui saluran hirarki dengan disertai pertimbangan tertulis. Dalam surat pertimbangan tersebut antara lain dikemukakan keadaan obyektif suami isteri tersebut dan memuat saran-saran sebagai bahan pertimbangan bagi pejabat untuk mengambil keputusan.
Setiap atasan yang menerima surat permintaan izin perceraian, wajib menyampaikannya kepada pejabat selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung mulai tanggal ia menerima surat permintaan izin perceraian. Setiap pejabat harus mengambil keputusan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung mulai tanggal ia menerima surat permintaan izin perceraian tersebut. Kewajiban Pejabat Sebelum mengambil keputusan, pejabat berusaha lebih dahulu merukunkan kembali suami isteri yang akan bercerai dengan cara memanggil mereka, baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri. Apabila tempat suami isteri yang bersangkutan jauh dari kedudukan pejabat, maka pejabat dapat menginstruksikan kepada pejabat lain dalam lingkungannya untuk melakukan usaha merukunkan suami isteri itu.
Apabila perceraian terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil pria, maka ia wajib menyerahkan sepertiga gajinya untuk penghidupan bekas isteri dan sepertiga gajinya untuk anak-anaknya. Apabila pernikahan mereka tidak dikaruniai anak, maka setengah dari gajinya diserahkan kepada isterinya. Apabila perceraian terjadi atas kehendak suami isteri, maka pembagian gaji dilaksanakan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak yang bercerai. Bekas isteri berhak atas bagian gaji walaupun perceraian terjadi atas kehendak isteri (Pegawai Negeri Sipil pria menjadi pihak tergugat) apabila alasan perceraian tersebut adalah karena dimadu, atau karena Pegawai Negeri Sipil pria melakukan zina, melakukan kekejaman atau penganiayaan, menjadi pemabok/ pemadat/penjudi, atau meninggalkan isteri selama 2 (dua) tahun atau lebih tanpa alasan yang sah. Pembagian gaji seperti tersebut diatas tidak harus dilaksanakan apabila alasan perceraian karena pihak isteri melakukan zina, melakukan kekejaman atau penganiayaan, menjadi pemabok/pemadat/ penjudi, dan atau meninggalkan suami selama 2 (dua) tahun atau lebih tanpa alasan yang sah.
Pegawai Negeri Sipil Pria Yang Akan Beristeri Lebih Dari Seorang :
Undang-undang Nomor l Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut azas monogami, yaitu seorang pria hanya mempunyai seorang isteri dan seorang wanita hanya mempunyai seorang suami. Namun hanya apabila dipenuhi persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan seorang pria dimungkin-kan beristeri lebih dari seorang, apabila ajaran agama yang dianutnya mengizinkan dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristeri lebih dari seorang wajib memperoleh izin tertulis lebih dahulu dari pejabat. Izin untuk beristeri lebih dari seorang hanya dapat diberikan apabila memenuhi syarat-syarat alternatif dan syarat-syarat kumulatif sebagai berikut. Syarat alternatif, yaitu :
·      isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri,
·      isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau
·      isteri tidak dapat melahirkan keturunan
 Syarat kumulatif, yaitu :
·      ada persetujuan tertulis dari isteri
·      Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak-anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan, dan
·      ada jaminan tertulis dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
            Izin untuk beristeri lebih dari seorang hanya dapat diberikan oleh pejabat apabila dipenuhi sekurang-kurangnya satu dari semua syarat alternanif, dan semua syarat kumulatif yang ada. Pejabat yang menerima permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang wajib memperhatikan dengan saksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam surat permintaan izin dan atasan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan. Apabila alasan-alasan dan syarat-syarat yang dikemukakan tersebut kurang meyakinkan, maka pejabat harus meminta keterangan tambahan dari isteri Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan permintaan izin atau dari pihak lain yang dipandang dapat memberikan keterangan yang meyakinkan. Sebelum mengambil keputusan, pejabat memanggil Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan sendiri atau bersama-sama dengan isterinya untuk diberi nasehat Permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang ditolak apabila:
a.    Bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianutnya/kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang di hayatinya,
b.    Tidak memenuhi salah satu syarat alternatif dan semua syarat alternatif,
c.    Bertentangan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
d.   Alasan yang dikemukakan untuk beristeri lebih dari seorang bertentangan dengan akal sehat, dan atau
e.    Ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan, yang dinyatakan dalam surat keterangan atasan langsung Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.
            Penolakan atau pemberian izin untuk beristeri lebih dari seorang dinyatakan dengan surat keputusan pejabat.
 Pegawai Negeri Sipil Wanita Tidak Diizinkan Menjadi Isteri Kedua/Ketiga/Keempat. :
Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan menjadi isteri kedua, ketiga, atau keempat dari seorang pria yang berkedudukan sebagai Pegawai Negeri Sipil, maupun seorang pria yang bukan Pegawai Negeri Sipil. Seorang wanita yang berkedudukan sebagai isteri kedua/ketiga/keempat tidak dapat melamar menjadi calon Pegawai Negeri Sipil. Pegawai Negeri Sipil wanita yang setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 ternyata berkedudukan sebagai isteri kedua/ketiga/keempat dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil. Pegawai Negeri Sipil Yang Menduduki Jabatan Tertentu Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian dan Pegawai Negeri Sipil Pria yang akan menikah lebih dari seorang yang berkedudukan sebagai:
a.    Menteri, Jaksa Agung, Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Keperesidenan, Pimpinan Kesekretariat-an Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara,Pimpinan Kesekretariatan Lembaga lain yang bukan merupakan bagian dari Departemen/ Lembaga Pemerintah Non Departemen, Gubernur Bank Indonesia, Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, Gubernur, dan Wakil Gubernur, wajib memperoleh izin terlebih dahulu dari Presiden,
b.    Bupati, Walikota, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota harus memperoleh izin terlebih dahulu dari Menteri Dalam Negeri,
c.    Pimpinan/Direksi Bank Milik Negara dan Pimpinan/Direksi Badan Usaha Milik Negara, wajib memperoleh izin terlebih dahulu dari Presiden,
d.   Pimpinan/Direksi Bank Milik Daerah dan Pimpinan/Direksi Badan Usaha Milik Daerah, wajib mempereloh izin terlebih dahulu dari Gubernur/Bupati/ Walikota yang bersangkutan,
e.    Anggota Lembaga Negara/Komisi wajib memper-oleh izin terlebih dahulu dari Presiden,
f.     Kepala Desa, Perangkat Desa, dan Petugas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di desa, wajib memperoleh izin terlebih dahulu dari Bupati yang bersangkutan.
PERKAWINAN MENURUT KHI
Pasal 1
Yang dimaksud dengan :
a. Peminangan ialah kegiatan kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita,
b. Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah;
c. Akad nikah ialah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan kabul yang diucapkan oleh
mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi;
d. Mahar adalah pemberiandari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam;
e. Taklil-talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang
dicantumkan dalam Akta Nikah berupa Janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan
tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang;
f. Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selam dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya sisebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun;
g. Pemeliharaan anak atau hadhonah adalah kegiatan mengasuh, memeliharadan mendidik anak
hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri;
h. Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu
perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai
kedua orang tua, orang tua yang masih hidup, tidak cakap melakukan perbuatan hukum;
i. Khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau
iwadl kepada dan atas persetujuan suaminya;
j. Mutah adalah pemberian bekas suami kepada isteri, yang dijatuhi talak berupa benda atau uang
dan lainnya.

Tata Cara Perceraian
Pasal 129
Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
Pasal 130
Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi
Pasal 131
1. Pengadilan agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.
2. Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menashati kedua belah pihak danternyata cukup alas an untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagihidup rukun dalamrumah
tangga, pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak.
3. Setelah keputusannya mempunyai kekuatan hukum tetap suami mengikrarkan talaknya didepan sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh isteri atau kuasanya.
4. Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulah terhitung sejak putusan
Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatanhukum yang tetap maka
hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan yant tetap utuh.
5. Setelah sidang penyaksian ikrar talak Pengadilan Agama membuat penetapan tentang terjadinya Talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan isteri.
Pasal 132
1. Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada Pengadilan Agama,. Yang daerah
hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman
bersama tanpa izin suami.
2. Dalam hal tergugat bertempat kediaman diluar negeri, Ketua Pengadilan Agama memberitahukan gugatan tersebut kepada tergugat melalui perwakilan Republik Indonesia setempat.
Pasal 133
1. Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruf b, dapat diajukan setelah
lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan gugatan meninggalkan rumah.
2. Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi
kembali ke rumah kediaman besama.
Pasal 134
Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruf f, dapat diterima apabila telah
cukup jelas bagi Pengadilan Agama mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan
setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami isteri tersebut.
Pasal 135
Gugatan perceraraian karena alsan suami mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat sebagai dimaksud dalam pasal 116 huruf c, maka untuk mendapatkan
putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyapaikan salinan putusan Pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Pasal 136
1. Selama berlangsungya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat
berdasarkan pertimbangan bahaya yang mingkin ditimbulkan, Penghadilan Agama dapat
mengizinkan suami isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.
2. Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat,
Pengadilan Agama dapat :
a. menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami;
b. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi
hak bersama suami isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang
yang menjadi hak isteri
Pasal 137
Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya putusan pengadilan Agama mengenai gugatan perceraian itu.
Pasal 138
1. Apabila tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tergugat tidak mempunyai tempat kediaman
yang tetap, panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatanpada papan pengumuman di
Pengadilan Agama dan mengumumkannya melalui satu atau bebrapa surat kabar atau mass
media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama.
2. Pengumuman melalui surat kabar atau surat-siurat kabar atau mass media tersebut ayat (1)
dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama
dan kedua
3. Tenggang dwaktu antara penggilan terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan
persidangan ditetapkan sejurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
4. Dalam hal sudah dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan tergugat atau kuasanya
tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak
atau tidak beralasan.
Pasal 140
Apabila tergugat berada dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 132 ayat (2),
Panggilan disampaikan melalui perwakilan Republik Indonesia setempat
Pasal 141
1. Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas atau surat gugatan perceraian
2. Dalam menetapkan waktu sidang gugatan perceraian perlu diperhatian tenyang waktu
pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa
meeka.
3. Apabila tergughat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam pasal 116 huruf b, sidang
pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak
dimasukkanya gugatan perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan Agama.
Pasal 142
1. Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami isteri datang sendiri atau mewakilkan
kepada kuasanya.
2. Dalam hal suami atau isteri mewakilkan, untuk kepentingan pemeriksaan Hakim dapat
memerintahkan yang bersangkutan untuk hadir sendiri.
Pasal 143
1. Dalam pemeriksaan gugatan perceraian Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak.
2. Selama perkara belum diputuskan usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang
pemeriksaan.
Pasal 144
Apabila terjadi pedamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan
alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada
waktu dicapainya perdamaian.
Pasal 145
Apabila tidak dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang
tertutup.
Pasal 146
(1) Putusan mengenai gugatan perceraian dilakukan dalam sidang terbuka.
(2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibat-akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan
Pengadilan Agama yang telah mempuntai kekuatan hukum yang tetap
Pasal 147
(1) Setelah perkara perceraian itu diputuskan, aka panitera Pengadilan Agama menyampaikan
salinan surat putusan tersebut kepada suami isteri atau kuasanya dengan menarik Kutipan Akta
Nikah dari masing-masing yang bersangkutan.
(2) Panitera Pengadilan Agama berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan Pengadilan
Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap tanpa bermaterai kepadaPegawai
Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal isteri untuk diadakan pencatatan.
(3) Panitera Pengadilan Agama mengirimkan surat Keterngan kepada masing-masing suami isteri atau kuasanya bahwa putusan tersebut ayat (1) telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan merupakan bukti perceraian bagi suami dan bekas istri.
(4) Panitera Pengadilan Agama membuat catatan dalam ruang yang tesedia pada Kutipan Akta Nikah yang bersangkutan bahwa mereka telah bercerai.Catatan tersebut berisi tempat terjadinya perceraian, tanggal perceraian, nomor dan tanggal surat putusan serta tanda tangan panitera.
(5) Apabila Pegawai Pencatat Nikah dengan Pegawai Pencatat Nikah tempat pernikahan mereka
dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud
dalam ayat(2) dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat
perkawinan dilangsungka dan bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar Negeri Salinan itu
disampaikan kepada Pegawai Pencatat Nikah Jakarta.
(6) Kelalaian mengirimkan salinan putusan tersebut dalam ayat (1) menjadi tanggungjawab Paniterayang bersangkutan, apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atauisteri atau keduanya.
Pasal 148
1. Seorang isteri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khuluk, menyanpaikan
permohonannya kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan
atau lasan-alasannya.
2. Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil isteri dan suaminya untuk disengar keterangannya masing-masing.
3. Dalam persidangan tersebut Pengadilan Agama memberikan penjelasan tentang akibat khuluk,
dan memberikan nasehat-nasehatnya.
4. Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadl atau tebusan, maka Pengadilan
Agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya disepan
sidang Pengadilan Agama. Terhadap penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan
kasasi.
5. Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam pasal 131 ayat (5)
6. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusanatau iwadl Pengadilan Agama
memeriksa dan memutuskan sebagai perkara biasa.

D.    PERKAWINAN HUKUM ADAT.

Hukum perkawinan adat adalah bagian dari hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang mengatur tentang perkawinan. Dalam realitas sosial, Hukum perkawinan adat masih berlaku meskipun intensitasnya berbeda-beda.
Unifikasi hukum di bid perkawinan
·       Lahir UU No 1/1974 ttg Perkawinan (2 Jan 1974)
·      PP No 9/1975 tentang Pelaksanaan UU No 1/1974Berdasar Pasal 49 ayat (1) maka UU Perkawinan berlaku efektif sejak 1 Oktober 1975.
Pluralisme Hukum Perkawinan pra UU Perkawinan
1.    Bagi org2 Indoensia asli yg beragama islam, berlaku hukum agamanya (hukum perkawinan islam) yg telah diterima dlm hukum adat;
2.    Bagi org2 Indoensia asli lainnya, berlaku hukum perkawinan adat masing2;
3.    Bagi org2 Indoensia asli yg beragama kristen, berlaku hukum (ordonansi) perkawinan kristen Indonesia atau HOCI (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers) Stb. 1933 No. 74;
4.    Bagi org2 Timur Asing Cina & WNI Keturunan Cina, berlaku ketentuan2 KUH Perdata dg sedikit perubahn
5. Bagi org2 Timur Asing lainnya & WNI keturunan Timur Asing lainya berlaku hukum adat mereka
6. Bagi org2 Eropa & WNI keturunan Eropa atau yg disamakan dg mereka berlaku Kitab Undang2 Hukum Perdata (KUH Perdata)
Pasal 66 UU Perkawinan berbunyi, (CERMATI)
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (burgelijk Wetboek), Ordinansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordanantie Christen Indonesia 1933 No.74, Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op gemeng de Huwelijken S.1898 No. 158), dan Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku. Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.” Melalui penafsiran a contrario, berarti sejauh thp hal2 yg tidak telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tetap berlaku.
UU Perkawinan berpedoman pada Falsafah Pancasila & UUD 1945 dan harus dapat menampung segala realitas kehidupan masyarakat
Jika ditelaah lebih mendalam, ada hubungan antara hukum perkawinan adat dan UU Perkawinan sbb:
1.    Asas2 dan/atau ketentuan2 dlm hukum adat yg sesuai, dimasukkan dlm UU Perkawinan
 - Larangan perkawinan antara org yg mempunyai hub darah sangat dekat (Pasal 8)
 - Ketantuan seorang wanita yg putus perkawinannya harus berlaku waktu tunggu (Pasal 11)
 -Kedudukan harta benda dlm perkawinan (Pasal 35) Ketentuan hak&kewajiban org tua&anak (Pasal 45)
2. Asas2 dan/atau ketentuan2 dlm hukum adat yg tdk diatur tetapi tdk bertentangn&masih brlaku
   -Dalam hal pertunangan, pemberian hadiah perkawinan, bentuk2 dan upacara perkawinan, sebaliknya, tdk diatur tapi bertentangan UU Perkawinan yakni perkawinan bawa lari
3. Asas2 dan/atau ketentuan2 dlm hukum adat yg tidak sesuai & tidak berlaku
   - Pasal 7 ayat (1) yg menentukan usia kawin shg otomatis melarang perkawinan anak2 (perkwinan gadis muda belia)
    - Pasal 19 PP No.9/1975 yg menybutkan alasan2 cerai yg scr otomatis melarang perceraian        diluar alasan tsb, misalnya krn faktor magis (hukum perkawinan adat)
PENUTUP
                                                                     KESIMPULAN
Agama islam menetapkan bahwa untuk membangunkan rumah tangga yang damai dan teratur itu, haruslah dengan perkawinan dan akad nikah yang sah, serta diketahui oleh sekurang kurangnya dua orang saksi, bahkan dianjurkan supaya diumumkan kepada tetangga dan karib kerabat dengan mengadakan pesta perkawinan (walimah).
Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.[11] Dalam kitab UU perdata (B.W) pasal 26 perkawinan itu dipandang dalam hubungan keperdataan saja artinya bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang memenuhi syarat syarat yang ditetapkan dalam kitab UU hukum Perdata (B.W). UU hanya mengenal “Perkawinan Perdata” yaitu perkawinan yang dilangsungkan dihadapan seorang pegawai catatan sipil.
Allah menjadikan makhlukNya berpasang pasangan, menjadikan manusia laki laki dan perempuan , menjadikan hewan jantan betina, begitu pula tumbuh tumbuhan dan lain sebagainya.
Hikmahnya adalah supaya manusia itu hidup berpasang pasangan, membangun rumah tangga yang damai dan teratur. Untuk itu haruslah diadakan ikatan dan pertalian yang kokoh yang tak mudah putus dan diputuskan,ialah ikatan nikah atau ijab kabul perkawinan, dalam pada itu mereka akan melahirkan keturunan yang sah dalam masyarakat. Kemudian keturunan mereka itu akan membangunkan pula rumah tangga yang baru dan keluarga yang baru dan begitulah seterusnya. 
    




DAFTAR PUSTAKA
HS,Salim.2003. “Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW)”Jakarta : Sinar Grafika.
Kansil, Kansil Cristine,2000. Modul Hukum Perdata, Jakarta. PT. Pradnya Paramita.
Salim Hs 2002. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW),Jakarta Sinar Grafika.
Sudarsono, 1994, “Hukum Waris dan Sistem Bilateral”, Rineka cipta, Jakarta.
Subekti.1979 “Pokok Pokok Hukum Perdata”. Jakarta PT Intermasa.
Subekti dan Tjirtrosudibio. 2001. Kitab Undang Undang Hukum Perdata, Jakarta Pradnya Paramita.









[1] Subekti, Pokok Pokok Hukum Perdata,( Jakarta. PT. Intermasa ,2003), hal 23.
[2] Pasal 27 KUH Perdata. Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional,  (Jakarta Rineka Cipta,1991) hal 6.
[3] Salim, Pengantar Hukum Perdata Tertulis(BW), (Jakarta.Sinar Grafika, 2003) hal 63-64.
[4] Pasal 50 sampai pasal 51.
[5] Sudarsono, OP.CIT hal 13-14.
[6] Salim.OP.CIT hal 65-66
[7] Subekti OP.CIT hal 25.
[8] Salim OP.CIT hal 72.
[9] Subekti OP.CIT hal 38 – 39.
[10] C.S.T. Kansil OP.CIT hal 106.
[11] Subekti, Pokok Pokok Hukum Perdata,( Jakarta. PT. Intermasa ,2003), hal 23.